Warisan Etnis Jawa
"Mah, aku pamit ya," ucap ku sembari mencium tangan dengan menggendong tas besar dipundak, bergegas menuju terminal bus yang kebetulan dekat dari rumah. Ya, kali ini kaki ku benar-benar menginginkan kembali ke kota itu. Kota yang masih belum puas aku kunjungi.
Bus berhenti disalah satu terminal, tepatnya terminal Giwangan. Kota ini salah satu destinasi wisata dengan segudang keindahan, nyaris sempurna setiap sudut kota Yogyakarta yang istimewa. Terlepas dari itu, tak sangka aku betul menelan ludah perkataan sendiri.
"Akhirnya kita sampai," ujar Shabrina. Aku pergi bersama teman sekelas dikampus ku, namanya Shabrina. Aku dengannya betul-betul berteguh kembali ke kota ini dengan iming pelarian untuk mencari ide tugas kampus, secara spontan, nekat, dan pas-pasan.
Bergegas mengendarai motor yang sudah kami sewa menuju tempat penginapan untuk membersihkan diri serta menaruh barang bawaan. Sudah rapih, saatnya tancap gas untuk mengisi kekeroncongan perut ini. Aku mengamati situasi masyarakat setempat di sepanjang jalan.
"Ini padahal ramai yah, tapi kok nggak ada satupun yang klakson rusuh kayak di Jakarta?" cetus ku dengan heran.
"Iya, keren banget mana nggak ada yang menerobos lampu merah," sahut Shabrina.
Mencari sarapan tapi tidak tahu tujuan, karena sebetulnya kami kebingungan mau sarapan dimana dan makan apa, hari itu benar matahari seperti persis diatas kepala.
“Sarapan dimana ya?” cetus Shabrina.
“Alun-alun kidul yuk, kayaknya banyak makanan dehh,” jawabku.
Kami langsung menancap gas menuju alun-alun kidul, sudah tidak dikondisi perut keroncongan hampir seharian perjalanan menuju kota ini. Sesampai disana, sangat ramai dengan aktifitas masyarakat berolahraga.
Bus berhenti disalah satu terminal, tepatnya terminal Giwangan. Kota ini salah satu destinasi wisata dengan segudang keindahan, nyaris sempurna setiap sudut kota Yogyakarta yang istimewa. Terlepas dari itu, tak sangka aku betul menelan ludah perkataan sendiri.
"Akhirnya kita sampai," ujar Shabrina. Aku pergi bersama teman sekelas dikampus ku, namanya Shabrina. Aku dengannya betul-betul berteguh kembali ke kota ini dengan iming pelarian untuk mencari ide tugas kampus, secara spontan, nekat, dan pas-pasan.
Bergegas mengendarai motor yang sudah kami sewa menuju tempat penginapan untuk membersihkan diri serta menaruh barang bawaan. Sudah rapih, saatnya tancap gas untuk mengisi kekeroncongan perut ini. Aku mengamati situasi masyarakat setempat di sepanjang jalan.
"Ini padahal ramai yah, tapi kok nggak ada satupun yang klakson rusuh kayak di Jakarta?" cetus ku dengan heran.
"Iya, keren banget mana nggak ada yang menerobos lampu merah," sahut Shabrina.
Mencari sarapan tapi tidak tahu tujuan, karena sebetulnya kami kebingungan mau sarapan dimana dan makan apa, hari itu benar matahari seperti persis diatas kepala.
“Sarapan dimana ya?” cetus Shabrina.
“Alun-alun kidul yuk, kayaknya banyak makanan dehh,” jawabku.
Kami langsung menancap gas menuju alun-alun kidul, sudah tidak dikondisi perut keroncongan hampir seharian perjalanan menuju kota ini. Sesampai disana, sangat ramai dengan aktifitas masyarakat berolahraga.
Celingak-celinguk mencari makanan yang masih jualan, kebetulan memang sampai dikota ini sudah hampir siang, banyak pedagang sedang membereskan jualannya. Akhirnya, Shabrina pesan pecel sayur dan aku pesan zupa soup. “Jauh-jauh ke Jogja, malah makannya zupa soup,” ucap ku dengan konyol. Kami tertawa lepas.
“Matursuwun, Bu” ucap Shabrina.
“Nggeh,” jawab ibu penjual pecel
Teriknya matahari dengan perut yang sudah kenyang membawa semangat untuk jalani beberapa tempat destinasi kunjungan pertama, yaitu Museum Sonobudoyo. Membeli tiket 10.000 (sepuluh ribu rupiah) dan disambut hangat oleh pemandu yang menawarkan jasa mereka secara gratis, tentunya sangat tertarik dibantu oleh jasa nya.
"Halo, perkenalkan saya Desta salah satu mahasiswa magang dari kota Solo yang akan menjelaskan sedikit mengenai informasi Museum Sonobudoyo ini," sambutnya.
Langkah kaki ini berjalan menuju awal gedung utama, kali ini ramai penunjung dan ditemani oleh salah satu edukator museum. Banyak sekali yang sedang foto dengan menggunakan baju adat.
“Kalau di museum ini ada aktifitas apa saja yah?” tanya ku dengan rasa penasaran.
“Banyak sekali aktifitas yang ada disini, ada latihan membatik, latihan tari dan gamelan, bioskop, fotografi baju adat yang bekerja sama dengan fotografer FH Potret, Pagelaran wayang kulit, pagelaran wayang wong dan pagelaran wayang Panji,” jawab Ade selaku edukator museum.
Aku melihat banyak koleksi koin, topeng dan benda-benda yang ada dikerajaan dahulu. Unik, kataku. Zaman serba modern seperti sekarang, sudah tidak ada yang menggunakan barang antik seperti ini. Apalagi pada masa itu, sebagian yang punya hanyalah kelas bangsawan. Tidak semua orang bisa memiliki nya.
“Di museum ini koleksi nya 90% adalah koleksi asli, dibawah naungan Dinas Kebudayaan Provinsi D.I.Y. dan sumber dana nya berasal dari APBD dan Danais,” ucap Ade.
Aku terkejut, bagaimana bisa mengumpulkan koleksi di museum ini hampir rata-rata asli? Umur barang nya bahkan jauh lebih tua dari sebelum aku terlahir kemuka bumi. Mungkin belum direncanakan juga.
“Jadi museum ini tuh di dirikan oleh Java Institute organisasi pada zaman belanda dulu, orang Indonesia dan Belanda yang mengumpulkan dulu. Terus tahun 1934 dan 1935 di dirikan Museum Sonobudoyo oleh Sultan Hamengkubuwana VIII, kemudian barang nya diletakkan disini,” sahut Ade.
Koleksi di jelaskan satu-persatu secara rinci mulai dari gedung utama, hingga gedung baru yang resmi pada 2022 lalu. Melihat banyak sekali sejarah dan kebudayaan Jawa, lirikan mata ku tertuju koleksi wayang yang menarik perhatian.
Pada masa silam, wayang lahir dari cendikia nenek moyang suku Jawa. Wayang terbuat dari kulit kerbau dirancang dengan rumit dan detail perbedaan karakter, pantas saja bentuk wayang beda-beda.
“Pertunjukkan wayang biasanya menceritakan kisah raja, putri, raksasa, dan ksatria cerita kuno,” ucap Desta.
Mahir cekatan gerakan tangan dalang dengan iringan senandung lirih narasi nan puitis terselip kata sanskerta, seluruh mata fokus dengan pementasan. Alur perwayangan sangat berkesan bagi ku, karena menceritakan segala kehidupan manusia lahir hingga kembali kepada sang pencipta.
Awalnya, pertunjukan wayang hanya dimainkan untuk kalangan istana atau keraton saja. Namun seiring perkembangan wayang, akhirnya dipertontonkan ke masyarakat luas agar melestarikannya hingga kemacanegara. Bersyukur kita semua masih bisa melihat pertunjukkan wayang hingga saat ini.
“Wayang itu ada berapa jenis nya ya?”, tanyaku kebingungan.
Aku melihat sekitar, koleksi wayang ada yang seiras, ada yang berbeda juga. “Serem juga ya muka wayang kalau diliat-liat…” lirih ku.
Aku tidak bisa membedakannya, hanya saja ada ekspresi dan warna wayang itu sendiri. “Ya, wayang memang memiliki jenis yang berbeda-beda. Ada wayang purwa yang biasa kita tau itu cerita wayang kulit Ramayana dan Mahabarata, wayang beber, wayang golek, wayang orang, dan wayang suket,” jawab Desta.
Aku ingat, beberapa kali menonton wayang dengan tema Mahabarata atau Ramayana. “Tapi kan, Mahabarata bukannya cerita India ya?” tanyaku.
Desta pun menjelaskan apa yang aku tanyakan. Ternyata penggunaan wayang zaman dahulu sebagai media dakwah. Pantas saja budaya Hindu sangat kental di Jawa, jadi Islam bisa masuk melalui pemahaman mengenai Hindu yang sudah mendarah daging bagi orang Jawa. Sunan Kalijaga juga memasukkan unsur-unsur Hindu ke dalam wayang, dan digunakan sebagai media dakwah dengan memodifikasi cerita dan pemaknaan.
Seketika mati langkah kaki ku ketika memasuki gedung baru, “Wah gila ya, keren banget” sahutku dengan kagum. Melihat tema serta perkembangan bangunan gedung baru Museum Sonobudoyo ini, menjadi daya tarik sendiri dengan teknologi visual baru yang ada disana, “Ya, penggunaan teknologi ini guna menarik pengunjung dari berbagai generasi seperti millenial, gen-z, dan generasi alpha,” ujar Ade.
Memperhatikan setiap sudut museum gedung baru ini, dari arsitektur bangunan konsep yang begitu menarik. Serta deretan koleksi wayang modern juga ada disini.
“Wiiinggg…. wiinggg…. wiiinggg” seketika alarm museum bunyi, aku panik melihat sekitar. Waduhh, aku menyentuh koleksinya saja tidak, bagaimana kalau aku diamuk masa? Aku sungguh tidak mencuri nya, bahkan pegang pun juga tidak.
“Hati-hati ya, karena gedung ini memiliki pendeteksi sensor yang berbunyi jika pengunjung melewati garis batas yang disediakan,” tegas Ade.
Apik sekali museum ini, sejujurnya aku suka sekali ketika membahas tentang sejarah. Banyak yang ingin aku ketahui, bahkan seisi dunia ini kalau bisa aku pertanyakan seluruhnya. Membuka pengetahuan baru tentang sejarah lebih dalam, dan bangga dengan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur hingga saat ini.
Usai berkeliling Museum Sonobudoyo hanya bermodal petunjuk jalan melalui handphone kami menuju Kaliurang, destinasi kuliner yang sudah di rencana kan. Sejujurnya aku tak bisa terlalu makanan berat yang rasanya manis, selera lidah ku memang tidak begitu cocok disini. Cita rasa manis yang sudah turun-menurun dari Zaman Majapahit.
“Nanti malam ada acara HUT Kota Yogyakarta, lohh!” ucap Shabrina.
Mendengar kabar tersebut, aku penuh dengan semangat untuk ikut serta memeriahkan ulang tahun kota ini. Ini pertama kali nya menyaksikan acara masyarakat. Matahari sudah hampir tenggelam, kami bergegas kembali ke penginapan untuk bersiap acara nanti malam.
Hari sudah petang, jalan menuju Tugu Yogyakarta kali ini padat merayap, masyarakat, wisatawan bahkan turis rela berbondong-bondong untuk menyaksikan HUT kota istimewa. Pertunjukan acara ini digelar oleh Wayang Jogja Night Carnival, pasti nya ditampilkan seputar perwayangan. Melihat patung wayang besar bahkan wayang orang, berlenggak-lenggok memakai kostum dan riasan.
Beberapa orang besar dikota ini menghadiri dan memberi sambutan, salut dengan antusias masyarakat sekitar. Aku juga mengobrol dengan salah satu penonton, ternyata dari luar kota dan memang ingin memeriahkan acara HUT kota ini. Sungguh istimewa nya kota ini.
Pertunjukan kesenian ini ada beberapa penampilan yang aku ketahui salah satunya Larasati, Pandawa, dan Tari Uma. “Asik banget ya acara nya, keren!” sahutku. Tak hanya itu, ada beberapa tenda kuliner disana dan titik akses menuju Tugu pun ditutup. Usai pertunjukan, dimeriahkan dengan kembang api.
“Ahh, rasanya ingin sekali jadi orang sini,” ucapku.
Ya, keluarga ku asli Jakarta. Sedari kecil, cita-cita ku hanya ingin punya kampung. Katanya, dunia ini panggung sandiwara. Nyatanya, Jogja adalah panggung penuh nostalgia. Kota yang sangat berkesan.
Suku Jawa memang mendominasi wilayah Indonesia, suku terbesar di Indonesia. Bahkan tetangga, sebrang, kanan, kiri rumah ku mayoritas orang Jawa. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa aku kagum dengan suku Jawa, yang dikenal kental nan sakral. Ragam budaya, suku, adat, dan tradisi yang indah, bahkan musik Jawa aku juga suka. Yahh, walaupun nggak begitu mengerti sih artinya.
Sebab dengan mengetahui perkembangan sejarah inilah yang membawa kehidupan jauh lebih modern dari dulu, kita memang perlu mengetahui seluk-beluk ragam Indonesia. Kekayaan budaya Indonesia harus terus diwariskan, sampai kapanpun.
Langkah kaki ini berjalan menuju awal gedung utama, kali ini ramai penunjung dan ditemani oleh salah satu edukator museum. Banyak sekali yang sedang foto dengan menggunakan baju adat.
“Kalau di museum ini ada aktifitas apa saja yah?” tanya ku dengan rasa penasaran.
“Banyak sekali aktifitas yang ada disini, ada latihan membatik, latihan tari dan gamelan, bioskop, fotografi baju adat yang bekerja sama dengan fotografer FH Potret, Pagelaran wayang kulit, pagelaran wayang wong dan pagelaran wayang Panji,” jawab Ade selaku edukator museum.
Aku melihat banyak koleksi koin, topeng dan benda-benda yang ada dikerajaan dahulu. Unik, kataku. Zaman serba modern seperti sekarang, sudah tidak ada yang menggunakan barang antik seperti ini. Apalagi pada masa itu, sebagian yang punya hanyalah kelas bangsawan. Tidak semua orang bisa memiliki nya.
“Di museum ini koleksi nya 90% adalah koleksi asli, dibawah naungan Dinas Kebudayaan Provinsi D.I.Y. dan sumber dana nya berasal dari APBD dan Danais,” ucap Ade.
Aku terkejut, bagaimana bisa mengumpulkan koleksi di museum ini hampir rata-rata asli? Umur barang nya bahkan jauh lebih tua dari sebelum aku terlahir kemuka bumi. Mungkin belum direncanakan juga.
“Jadi museum ini tuh di dirikan oleh Java Institute organisasi pada zaman belanda dulu, orang Indonesia dan Belanda yang mengumpulkan dulu. Terus tahun 1934 dan 1935 di dirikan Museum Sonobudoyo oleh Sultan Hamengkubuwana VIII, kemudian barang nya diletakkan disini,” sahut Ade.
Koleksi di jelaskan satu-persatu secara rinci mulai dari gedung utama, hingga gedung baru yang resmi pada 2022 lalu. Melihat banyak sekali sejarah dan kebudayaan Jawa, lirikan mata ku tertuju koleksi wayang yang menarik perhatian.
Pada masa silam, wayang lahir dari cendikia nenek moyang suku Jawa. Wayang terbuat dari kulit kerbau dirancang dengan rumit dan detail perbedaan karakter, pantas saja bentuk wayang beda-beda.
“Pertunjukkan wayang biasanya menceritakan kisah raja, putri, raksasa, dan ksatria cerita kuno,” ucap Desta.
Mahir cekatan gerakan tangan dalang dengan iringan senandung lirih narasi nan puitis terselip kata sanskerta, seluruh mata fokus dengan pementasan. Alur perwayangan sangat berkesan bagi ku, karena menceritakan segala kehidupan manusia lahir hingga kembali kepada sang pencipta.
Awalnya, pertunjukan wayang hanya dimainkan untuk kalangan istana atau keraton saja. Namun seiring perkembangan wayang, akhirnya dipertontonkan ke masyarakat luas agar melestarikannya hingga kemacanegara. Bersyukur kita semua masih bisa melihat pertunjukkan wayang hingga saat ini.
“Wayang itu ada berapa jenis nya ya?”, tanyaku kebingungan.
Aku melihat sekitar, koleksi wayang ada yang seiras, ada yang berbeda juga. “Serem juga ya muka wayang kalau diliat-liat…” lirih ku.
Aku tidak bisa membedakannya, hanya saja ada ekspresi dan warna wayang itu sendiri. “Ya, wayang memang memiliki jenis yang berbeda-beda. Ada wayang purwa yang biasa kita tau itu cerita wayang kulit Ramayana dan Mahabarata, wayang beber, wayang golek, wayang orang, dan wayang suket,” jawab Desta.
Aku ingat, beberapa kali menonton wayang dengan tema Mahabarata atau Ramayana. “Tapi kan, Mahabarata bukannya cerita India ya?” tanyaku.
Desta pun menjelaskan apa yang aku tanyakan. Ternyata penggunaan wayang zaman dahulu sebagai media dakwah. Pantas saja budaya Hindu sangat kental di Jawa, jadi Islam bisa masuk melalui pemahaman mengenai Hindu yang sudah mendarah daging bagi orang Jawa. Sunan Kalijaga juga memasukkan unsur-unsur Hindu ke dalam wayang, dan digunakan sebagai media dakwah dengan memodifikasi cerita dan pemaknaan.
Seketika mati langkah kaki ku ketika memasuki gedung baru, “Wah gila ya, keren banget” sahutku dengan kagum. Melihat tema serta perkembangan bangunan gedung baru Museum Sonobudoyo ini, menjadi daya tarik sendiri dengan teknologi visual baru yang ada disana, “Ya, penggunaan teknologi ini guna menarik pengunjung dari berbagai generasi seperti millenial, gen-z, dan generasi alpha,” ujar Ade.
Memperhatikan setiap sudut museum gedung baru ini, dari arsitektur bangunan konsep yang begitu menarik. Serta deretan koleksi wayang modern juga ada disini.
“Wiiinggg…. wiinggg…. wiiinggg” seketika alarm museum bunyi, aku panik melihat sekitar. Waduhh, aku menyentuh koleksinya saja tidak, bagaimana kalau aku diamuk masa? Aku sungguh tidak mencuri nya, bahkan pegang pun juga tidak.
“Hati-hati ya, karena gedung ini memiliki pendeteksi sensor yang berbunyi jika pengunjung melewati garis batas yang disediakan,” tegas Ade.
Apik sekali museum ini, sejujurnya aku suka sekali ketika membahas tentang sejarah. Banyak yang ingin aku ketahui, bahkan seisi dunia ini kalau bisa aku pertanyakan seluruhnya. Membuka pengetahuan baru tentang sejarah lebih dalam, dan bangga dengan apa yang sudah diwariskan oleh leluhur hingga saat ini.
Usai berkeliling Museum Sonobudoyo hanya bermodal petunjuk jalan melalui handphone kami menuju Kaliurang, destinasi kuliner yang sudah di rencana kan. Sejujurnya aku tak bisa terlalu makanan berat yang rasanya manis, selera lidah ku memang tidak begitu cocok disini. Cita rasa manis yang sudah turun-menurun dari Zaman Majapahit.
“Nanti malam ada acara HUT Kota Yogyakarta, lohh!” ucap Shabrina.
Mendengar kabar tersebut, aku penuh dengan semangat untuk ikut serta memeriahkan ulang tahun kota ini. Ini pertama kali nya menyaksikan acara masyarakat. Matahari sudah hampir tenggelam, kami bergegas kembali ke penginapan untuk bersiap acara nanti malam.
Hari sudah petang, jalan menuju Tugu Yogyakarta kali ini padat merayap, masyarakat, wisatawan bahkan turis rela berbondong-bondong untuk menyaksikan HUT kota istimewa. Pertunjukan acara ini digelar oleh Wayang Jogja Night Carnival, pasti nya ditampilkan seputar perwayangan. Melihat patung wayang besar bahkan wayang orang, berlenggak-lenggok memakai kostum dan riasan.
Beberapa orang besar dikota ini menghadiri dan memberi sambutan, salut dengan antusias masyarakat sekitar. Aku juga mengobrol dengan salah satu penonton, ternyata dari luar kota dan memang ingin memeriahkan acara HUT kota ini. Sungguh istimewa nya kota ini.
Pertunjukan kesenian ini ada beberapa penampilan yang aku ketahui salah satunya Larasati, Pandawa, dan Tari Uma. “Asik banget ya acara nya, keren!” sahutku. Tak hanya itu, ada beberapa tenda kuliner disana dan titik akses menuju Tugu pun ditutup. Usai pertunjukan, dimeriahkan dengan kembang api.
“Ahh, rasanya ingin sekali jadi orang sini,” ucapku.
Ya, keluarga ku asli Jakarta. Sedari kecil, cita-cita ku hanya ingin punya kampung. Katanya, dunia ini panggung sandiwara. Nyatanya, Jogja adalah panggung penuh nostalgia. Kota yang sangat berkesan.
Suku Jawa memang mendominasi wilayah Indonesia, suku terbesar di Indonesia. Bahkan tetangga, sebrang, kanan, kiri rumah ku mayoritas orang Jawa. Tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa aku kagum dengan suku Jawa, yang dikenal kental nan sakral. Ragam budaya, suku, adat, dan tradisi yang indah, bahkan musik Jawa aku juga suka. Yahh, walaupun nggak begitu mengerti sih artinya.
Sebab dengan mengetahui perkembangan sejarah inilah yang membawa kehidupan jauh lebih modern dari dulu, kita memang perlu mengetahui seluk-beluk ragam Indonesia. Kekayaan budaya Indonesia harus terus diwariskan, sampai kapanpun.
Penulis: Hanifa Nabilla Elansary

Tidak ada komentar: